Islam adalah agama yang di ridhai Allah. Sebagaimana
termaktub dalam surat al-Maidah, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridhai
Islam sebagai agamamu”. (QS. al-Maidah: 3). Bahkan Allah menguatkan
firmanNya di dalam surat al-‘Imran, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah
Islam”. (QS. al-‘Imran: 19). Sejak zaman Rasulullah saw, Islam disampaikan
dengan beragam cara, didakwahkan kepada umat dengan berbagai metode. Metode
tersebut adalah sebuah cara untuk menyampaikan esensi ajaran Islam sendiri.
Dalam perkembangannya Islam tidak dapat dipisahkan dengan
budaya, bahkan Islam merangkul budaya untuk menyampaikan ajarannya. Namun,
apakah pengertian budaya dan bagaimana Islam memandangnya? Budaya adalah
kelakuan yang berlaku pada masyarakat dan lingkungan tertentu. Dahulu kebiasaan
memberikan makanan untuk berhala adalah budaya di kalangan masyarakat jahiliyah
Arab. Namun, setelah Rasul datang beliau mengubah kebiasaan jahiliyah tersebut,
dan menggantikannya dengan ajaran Islam. Misalnya, kebiasaan memberikan makanan
untuk berhala, diganti beliau dengan mengajarkan bersedekah. Begitu pula pada
generasi berikutnya, wali sembilan di Jawa misalnya. Para wali mengubah
kebiasaan atau budaya masyarakat pada saat itu, dan menggantinya dengan
kegiatan yang bernilai ibadah.
Misalnya, sekatenan. Sekaten adalah sebuah upacara kerajaan
yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan
Demak. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Para
pengunjung sekatenan yang menyatakan ingin “ngrasuk” agama Islam setelah
mengikuti kegiatan syiar agama Islam tersebut, dituntun untuk
mengucapkan 2 (dua) kalimat syahadat (syahadatain). Dalam pengamalannya
Islam tidak membumi hanguskan semua budaya tersebut. Bahkan terjadi akulturasi
antara Islam dan budaya. Di mana budaya menjadi sebuah metode/alat untuk
menyampaikan Islam. Contoh yang populer adalah bagaimana Islam mengajarkan
untuk mendoakan kebaikan dan kemenangan di hari Idul Fitri.
Al Baihaqi mengatakan, “Bab berisi riwayat tentang ucapan
selamat ketika hari ied dengan kata-kata taqabbalallahu minna wa minka”. Namun,
dalam budaya Indonesia biasa digunakan doa “Minal `aidzin wa-l faizin”. Doa
yang biasa diucapkan umat Islam Indonesia pada hari Raya Idul Fitri, yang kalau
diterjemahkan secara lengkap adalah “Semoga Anda termasuk dari kelompok
orang-orang yang kembali kepada fitrah dan berbahagia/beruntung”. Ucapan
selamat atau saling mendoakan ini bukan ibadah mahdhah. Tetapi, termasuk bagian
dari muamalah. Bisa doa apa saja, bisa bahasa apa saja yang penting bisa
dipahami/dimengerti oleh yang diberikan ucapan selamat/doa tersebut. Sehingga,
dalam aplikasinya, metode tersebut tidak merusak esensi Islam sendiri.
Misalnya, bagaimana Sunan Kalijaga mendakwahkan Islam dengan
budaya Jawa waktu itu, yaitu dengan lagu/tembang. Misalnya, pada tembang ilir
ilir. Terdapat filosofis agamis dalam tembang yang notabene adalah budaya
masyarakat Jawa pada waktu itu. Bahkan Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari
Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini.
Ilir ilir mengandung arti sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari
keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang
telah ditanamkan oleh Allah dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan
tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau
tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang
untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan
seperti bahagianya pengantin baru.
Sehingga, pada hakikatnya dalam pendakwahannya Islam justru
merangkul budaya untuk menyampaikan esensi ajarannya. Karena, dengan merangkul
budaya, Islam jadi lebih mudah diterima di masyarakat. Budaya bisa/boleh saja
digunakan untuk metode dakwah, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai
dalam Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah, “Dan
janganlah kau campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu
sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS.
al-Baqarah: 42)
Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat
dikatakan bahwa agama bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari
manusia. Agama adalah “karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia.
Dengan demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian
dari agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan
saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi
dan rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat
Allah, manusia, alam semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh
manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang disebut agama itu, mewarnai corak budaya
yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang memeluknya.
Di tengah masyarakat, kita
melihat praktek-praktek keberagamaan yang bagi sebagian orang tidak terlalu
jelas apakah ia merupakan bagian dari agama atau budaya. Ambil contoh tradisi
tahlilan. Tidak sedikit di kalangan umat Islam yang beranggapan bahwa upacara
tahlilan adalah kewajiban agama, yang harus mereka selenggarakan meskipun untuk
itu harus berhutang. Mereka merasa berdosa kalau tidak mengadakan tahlilan
ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Padahal yang diperintahkan
oleh agama berkaitan dengan kematian adalah “memandikan, mengkafani,
menyalatkan, mengantar ke makan, memakamkan, dan mendoakan”. Sangat simple dan
hampir tidak memerlukan biaya. Ini berarti bahwa upacara tahlilan pada dasarnya
adalah tradisi, bagian dari budaya bangsa, yang mungkin telah ada sebelum
datangnya Islam, yaitu tradisi kumpul-kumpul di rumah duka, yang kemudian
diislamkan atau diberi corak Islam. Yang perlu dilakukan dalam hal ini
adalah membenahi pemahaman dan penyikapan umat terhadap praktek-praktek
keberagamaan seperti itu secara proporsional.
Adalagi produk budaya yang
disalahpahami sebagai bagian dari agama sehingga dianggap sebagai bid’ah.
Misalnya kesenian yang bercorak Islam. Banyak puisi madah nabawi (pujian kepada
Nabi) ditulis dalam bahasa Arab, kemudian dilagukan dan diiringi dengan musik.
Lagu dan musik semacam ini di Indonesia disebut lagu atau musik shalawat.
Karena shalawat itu bagian dari ibadah dan kalimat-kalimatnya sudah diajarkan
oleh Nabi SAW, maka puisi madah nabawi (yang kalimatnya berbeda dengan yang
diajarkan oleh Nabi), apalagi lagu dan musiknya, serta merta dinilai sebagai
bid’ah. Anehnya, puji-pujian kepada Nabi yang ditulis dalam bahasa Indonesia,
yang kemudian dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan dalam katagori
bid’ah. Puisi-puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis dalam bahasa Arab)
adalah produk budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah SAW dan doa kepada
Allah SWT.